Selasa, 02 Desember 2014

cerpen yang berawal dari novel



LUKA HATI SEORANG GADIS KECIL
Di sebuah kota terpencil terdapat seorang psikolog yang mengabdikan dirinya di sebuah sekolah. Sekolah untuk anak-anak yang mengalami gangguan jiwa dan pikiran. Sudah 6 tahun terakhir Torey mendidik anak-anak itu di ruang tempat mengajarnya. Sebuah perjuangan yang besar dilakukan oleh Torey selama mengajar di sekolah itu. Namun, dengan rasa pengabdian Torey yang amat besar membuatnya tetap bertahan mengajar di sekolah itu.
Torey mempunyai 7 murid yang berusia tak lebih dari 10 tahun di kelasnya itu. Di dalam kelas itu, ia mempunyai berbagai macam murid yang berkelakuan super…super aneh dan membuat jantung terasa copot. Dimana, terdapat seorang anak yang pernah dua kali mencoba bunuh diri, seorang anak buta lagi agresif,. Dua orang anak menderita autisme dan juga dua orang anak yang pernah mengalami penganiayaan fisik dan seksual, serta anak yang terakhir menderita beragam fobia.
Saat Torey sedang mengajar di ruangannya, tiba-tiba datanglah seorang tamu. Ternyata tamu itu sosok seorang lelaki yang tidak pantas disebut ayah dengan seorang putrinya. Lelaki itu berencana ingin memasukkan putrinya bersekolah di tempat Torey mengabdikan dirinya selama ini. Awalnya Torey tidak mau menerima murid tambahan lagi, namun dia berfikir untuk kedua kalinya Ia berfikir bahwa itulah tanggung jawabnya sebagai guru sekaligus psikolog. Menjadi ganjillah murid yang akan dihadapi dan diajarkan Torey.
Anak yang baru saja dia terima sebagai muridnya itu bernama Sheila. Sheila berumur 6 tahun. Gadis kecil itu mempunyai IQ yang luar biasa yaitu di atas 180, namun Sheila menderita problem emosional yang parah. Sheila tak pernah menangis , baik kala sedih, marah, maupun kesakitan. Nyarisnya lagi dia baru saja membakar anak laki-laki berusia 3 tahun sampai nyaris mati karena gangguan jiwa yang ia alami sejak kecil. Sheila seperti gadis kecil yang tidak pernah di didik dan berkarakter keras kepala. Mungkin karena Sheila pernah ditinggalkan sang Ibu di jalanan saat berusia 4 tahun.  Dan mungkin saja karena ayahnya seorang pemabuk dan tak mampu memberinya pengasuhan dan perhatian yang layak. Sheila tidak pernah diajarkan bagaimana cara bersikap dengan sopan, tata karma, dan cara berbicara serta bertingkah laku yang baik.
Pagi pun datang, Torey segera berangkat ke sekolah tempat dia mengajar. Di pagi hari yang sejuk itu, semua murid diwajibkan untuk senam dan berolahraga. Teman-taman Sheila melakukan senam sedangkan Sheila hanya diam berdiri sambil memandang tajam ke semua orang disana. Sheila sangat misterius, salah satu temannya  yang sedikit sudah menjadi anak yang terdidik ketakutan melihat tingkah laku Sheila. Mereka menjauhi Sheila. Seusai senam, Torey dan murid-muridnya memasuki ruang kelas untuk memulai proses pembelajaran. Semua murid Torey kecuali Sheila duduk di tempat nya masing-masing, sedangkan Sheila hanya berdiri. Dia tidak bergerak sedikit pun. Dan Torey pun mengajak Sheila berbicara “ Sheila, kenapa tidak duduk di bangku mu?”. Namun, Sheila tidak merespond sedikit pun, Sheila hanya diam menghanyutkan bagaikan air tenang yang mengalir. Torey berusaha untuk membuat Sheila berbicara. Dia mengulang bertanya kepada Sheila, “Gadis kecil yang manis, silahkan duduk di bangku mu kita akan segera memulai pelajaran pada hari ini” ujar Torey dengan lemah lembut dan penuh keikhlasan. Sheila juga tidak menjawab dan diam di tempat. Torey dengan sabar menghadapi sikap Sheila dan kembali ke tempat semula dia duduk.
Pelajaran pada pagi hari itu ialah menggambar dan menghitung. Seusai torey menerangkan pembelajaran di depan kelas, Torey pun menyuruh anak-anak untuk menggambar bebas. Semua murid sudah berangsur memulai pekerjaannya, namun ada juga yang malah mengacau dan mengganggu teman sebangku nya. Sedangkan Sheila hanya berdiri seperti patung dengan mata tajam nya. Torey membiarkannya berbuat apa yang diinginkan nya agar Sheila tidak mengeluarkan perilaku jelek nya.  Torey sedang mendidik murid yang lainnya. Suatu ketika Sheila menatap Torey dengan tajam dan berjalan mengelilingi setiap sudut kelas itu dengan menghentak-hentak. Semua murid memperhatikannya begitu juga dengan Torey. Tiba-tiba Sheila berjalan kencang menuju sebuah aquarium di sudut kelas. Torey mulai khawatir dengan kelakuan Sheila. Sheila mengambil semua ikan yang ada di dalam aquarium, lalu menggenggam nya dengan kuat. Torey mulai menghampiri Sheila, tetapi Sheila malah mencongkel hidup-hidup mata ikan tersebut. Teman-temannya pun berteriak histeris melihat kelakuan Sheila yang begitu mengerikan.
Torey memandanginya dengan baik. Ketakutan mulai hilang dari mata Sheila dan digantikan dengan kelelahan. Bagian depan celana menggelap dan air kencing mengenang di seputar kakinya. Dia menunduk untuk melihatnya, melepaskan pandangannya dari Torey dan menggigit bibir bawahnya. “Kecelakaan sering terjadi, itu hal biasa karena kamu tak sempat ke kamar mandi” usul Torey. Dia menunduk lagi, kemudian kembali memandang Torey. Torey pun hanya diam. “Kamu akan mencambuk aku?’’ Sheila bertanya dengan suara parau. Torey merasa jengkel dan berkata “Tidak Sheila, aku tidak mau mencambuk anak-anak. Aku sudah katakana itu sebelumnya kepada mu”. Sheila menatap celana terusannya, “Papaku, dia pasti cambuk aku keras-keras kalau dia liat aku gini”. Torey menatap dengan rasa iba kepada Sheila. Sepanjang percakapan tadi, Torey tetap tidak bergerak di tempatnya, takut merusak hubungan yang masih rentan ini. “Akan kita bereskan itu nanti, jangan khawatir. Kita masih punya waktu sebentar sebelum sekolah usai. Nanti pasti kering” kata Torey. Sheila mengusap hidungnya dan memandang genangan air lalu memandang Torey.
Suasana sudah tenang di ruangan. Anton dan anak-anak sedang bernyanyi. Ikan-ikan yang mati tadi sudah dibereskan. Sheila pergi ke kursinya, melipat tubuhnya dan mengisap ibu jarinya. Namun, dia terus mengawasi Torey.  Torey berkeliling mendatangi setiap anak dan memeluk mereka serta berbicara dengan murid-muridnya untuk menenangkan perasaan mereka yang tak terucap. Bel sore berbunyi, “Besok akan lebih baik kukira, hari pertama memang sering sulit” ujar Torey kepada Sheila. Torey berusaha membaca matanya dan menangkap apa yang ada di dalam pikiran Sheila. Kebencian di matanya yang selama ini terlihat telah lenyap, setidaknya untuk sementara.
Untuk menangani bocah-bocah ini dari hari ke hari Torey harus mengunci emosinya sendiri dengan berbagai cara. Setiap hari Torey terus menghalau rasa ketakutannya untuk mendidik bocah-bocah yang luar biasa itu. Namun, pada dasarnya Torey seorang pemimpi. Di atas segala perilaku anak-anak tidak bisa di mengerti, di atas kekecewaan dan keraguan diri, Torey membangun impian yaitu bahwa segala sesuatu dapat berubah jika bersungguh-sungguh. Dan impian itu tidak mudah mati.
Esoknya tiba, tugas hari itu ialah  menulis. Anak-anak mengerjakan tugasnya, tetapi Sheila tidak. Begitu selembar kertas diberikan kepadanya, dia merobeknya. Bagaimanapun, hasil pekerjaannya tidak pernah sampai ke keranjang koreksi. Dia tetap tidak mau mengerjakan tugas tulis-menulis setelah dua puluh menit duduk, Torey pun menyerah. Torey berfikir mungkin ada sesuatu yang lain di balik penolakannya mengerjakan tugas tulis-menulis. Akhirnya, Torey kembali mengambil selembar kertas soal dari satu rim yang tersedia. Torey menyuruh Sheila mengerjakan tugas matematika. “ Kita akan mengerjakan matematika di hari ini, Sheila. Yang  kuinginkan hanyalah satu lembar kertas ini dan di situ cuma ada soal-soal mudah”. Dia memandang Torey, dan berkata “ Aku enggak mau ngerjain itu”. “Yah, hari ini kamu tidak boleh memilih. Ayo kita mulai”. Dia duduk menatap kembali Torey, lalu meremas kertas pertama itu. Torey memberikan lagi selembar kertas, lagi-lagi Sheila tidak mengerjakannya malah mencungkil kertas itu dengn pensil. Torey terus memaksanya untuk mengerjakan tugasnya, suatu ketika Sheila menjerit dan berlari keluar ruangan untuk melepaskan dirinya dari Torey. “ AKU MEMBENCI KAMU! Dia menjerit sekeras-kerasnya. Tampaknya dia sudah hampir menangis, garis mulutnya menurun dan dagunya gemetar. Kekecewaan Sheila terpancar di matanya karena Torey berlaku begitu keras terhadapnya. Saat Torey menatapnya, Torey mengaku dia telah melakukan kesalahan dengan memaksa Sheila untuk mentaati perintahnya.
Sheila punya dendam yang begitu besar dan seperti tak kenal batas. Mungkin saja itu karena perlakuan yang di terimanya di masa lalu dari keluarganya. Selama di sekolah Sheila selalu membawa masalah. Terkadang jika ada orang yang berkata keras kepadanya dia akan menimbulkan kekacauan. Suatu ketika Sheila pernah dendam kepada seorang temannya yang bernama Sarah. Sarah suka sekali dengan seni, dia menghasilkan banyak karya seni. Namun, Sheila dengan mudahnya menghancurkan karya seni Sarah.  Sarah merasa terpukul dan dia mengadukan perbuatan Sheila kepada kepala sekolah. Dengan marahnya kepala sekolah langsung memanggil Torey dan Sheila untuk menemuinya. Kepala sekolah itu tidak mengerti dengan Sheila, tidak seperti Torey yang selama ini menahan dirinya untuk tidak memarahi Sheila karena dia mengerti tekanan seperti apa yang telah di terima Sheila di masa lalunya.  Ny. Colly itu membentak Torey karena tidak becus mendidik Sheila sebagai muridnya. Lalu Sheila kelihatannya sanagat marah dengan perkataan Ny. Colly. Kemarahannya membuat dia dengan sekejap menghancurkan runagan Ny. Colly. Meja yang ada di dalam ruangan itu terjungkal, barang-barang berserakan dimana-mana, dan tirai jendela ditariknya ke bawah hingga runtuh. Torey membentaknya, “Sheila!”. Sheila berputar-putar, matanya gelap dan menyeramkan. Sebuah tongkat terpegang di salah satu tangannya. Ny. Colly sanagt marah dengan perlakuan Sheila terhadap ruangannya. Dia langsung memberi hukuman pukulan kepada Sheila. Sheila di suruhnya membungkuk, namun awalnya Sheila menolaknya. Akhirnya Sheila menurutinya dan Ny. Colly memukul Sheila 2 kali. Torey tak kuasa melihatnya. Namun, apalah daya Ny. Colly melarang nya untuk ikut campur dan dia menegaskan kepada Torey akan menberhentikannya.
Setelah kejadian itu Torey mengajak Sheila ke sebuah ruangan buku. Dia mengajak Sheila berbicara.
“Mengapa sich kamu lakukan semua itu?”
“Kamu enggak bisa nyuruh aku bicara” ujar Sheila.
Torey merasa bersalah karena telah menyerah dan membiarkan Ny. Colly membawanya. Namun Torey berkata padanya, “Dengar, ternyata semua jadi kacau. Maafkan aku”. Sheila tetap diam. Demi tuhan Sheila, apa sih yang kamu mau dariku?”
Matanya membesar. “Apakamu marah sama aku?”
“Bisa dibilang begitu. Aku sedang marah pada semua orang sekarang”
“Kamu akan cambuk aku?”
“Tidak, tidak akan. Seperti telah aku bilang padamu berjuta-juta kali, aku tidak mau mencambuk anak-anak.”
“Kenapa enggak?, Papaku, dia bilang itu satu-satunya cara membuat aku jadi baik. Dia cambuk aku dan aku harus jadi lebih baik, soalnya dia enggak mau tinggalkan aku di jalan seperti Mamaku”.
Hati Torey luluh setelah mendengar perkataan Sheila. Dia mencoba menenangkan gejolak emosional yang dirasakan Sheila selama ini. Torey memeluk Sheila, dan mencoba membuat Sheila menjadi anak yang terkendali.
Dengan berjalannya waktu yang lama yang dilalui Torey bersama Sheila membuat mereka semakin dekat dan saling menyayangi, seperti seorang Ibu dan anaknya. Mereka menjalani hari demi hari dengan banyak kejadian dan pelajaran. Dan semua itu membantu Sheila. Sheila sudah bisa menjadi anak yang baik. Usaha Torey selama ini sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Sheila sudah bisa mengontrol emosinya walau belum spenuhnya sempurna. Dia menjalani hari-harinya layaknya anak biasa yang normal emosionalnya. Kadang dia bernyanyi. Selama ini Sheila tidak pernah mau menangis karena menurut dia itu tidak ada gunanya, namun sekarang jika di kala sedih atau ketakutan Sheila sudah mau menangis karena dia sudah tau kalau menangis itu dapat membantu seseorang untuk meredam rasa amarah, sedih, takut, maupun kecewa.
Berkat perjuangan Torey selama ini telah menjadikan Sheila seperti anak biasa. dan sungguh luar biasanya kasih sayang dan kesabaran seorang guru seperti Torey. Impian Torey terwujud, dia mampu membaa anak didiknya ke jalan yang lebih baik termasuk Sheila. Walaupun Torey harus berpisah dengan Sheila, karena Sheila harus melanjutkan sekolah ke kelas berikutnya. Namun, Torey merasa bahagia melihat bocah didikannya yang mungil menjadi anak yang baik.
Karya: Irmayani Ocstadina, terinspirasi dari pengalaman membaca sebuah novel.