LUKA HATI SEORANG GADIS KECIL
Di
sebuah kota terpencil terdapat seorang psikolog yang mengabdikan dirinya di
sebuah sekolah. Sekolah untuk anak-anak yang mengalami gangguan jiwa dan
pikiran. Sudah 6 tahun terakhir Torey mendidik anak-anak itu di ruang tempat
mengajarnya. Sebuah perjuangan yang besar dilakukan oleh Torey selama mengajar
di sekolah itu. Namun, dengan rasa pengabdian Torey yang amat besar membuatnya
tetap bertahan mengajar di sekolah itu.
Torey
mempunyai 7 murid yang berusia tak lebih dari 10 tahun di kelasnya itu. Di
dalam kelas itu, ia mempunyai berbagai macam murid yang berkelakuan super…super
aneh dan membuat jantung terasa copot. Dimana, terdapat seorang anak yang
pernah dua kali mencoba bunuh diri, seorang anak buta lagi agresif,. Dua orang
anak menderita autisme dan juga dua orang anak yang pernah mengalami
penganiayaan fisik dan seksual, serta anak yang terakhir menderita beragam
fobia.
Saat
Torey sedang mengajar di ruangannya, tiba-tiba datanglah seorang tamu. Ternyata
tamu itu sosok seorang lelaki yang tidak pantas disebut ayah dengan seorang
putrinya. Lelaki itu berencana ingin memasukkan putrinya bersekolah di tempat
Torey mengabdikan dirinya selama ini. Awalnya Torey tidak mau menerima murid
tambahan lagi, namun dia berfikir untuk kedua kalinya Ia berfikir bahwa itulah
tanggung jawabnya sebagai guru sekaligus psikolog. Menjadi ganjillah murid yang
akan dihadapi dan diajarkan Torey.
Anak
yang baru saja dia terima sebagai muridnya itu bernama Sheila. Sheila berumur 6
tahun. Gadis kecil itu mempunyai IQ yang luar biasa yaitu di atas 180, namun
Sheila menderita problem emosional yang parah. Sheila tak pernah menangis ,
baik kala sedih, marah, maupun kesakitan. Nyarisnya lagi dia baru saja membakar
anak laki-laki berusia 3 tahun sampai nyaris mati karena gangguan jiwa yang ia
alami sejak kecil. Sheila seperti gadis kecil yang tidak pernah di didik dan
berkarakter keras kepala. Mungkin karena Sheila pernah ditinggalkan sang Ibu di
jalanan saat berusia 4 tahun. Dan
mungkin saja karena ayahnya seorang pemabuk dan tak mampu memberinya pengasuhan
dan perhatian yang layak. Sheila tidak pernah diajarkan bagaimana cara bersikap
dengan sopan, tata karma, dan cara berbicara serta bertingkah laku yang baik.
Pagi
pun datang, Torey segera berangkat ke sekolah tempat dia mengajar. Di pagi hari
yang sejuk itu, semua murid diwajibkan untuk senam dan berolahraga. Teman-taman
Sheila melakukan senam sedangkan Sheila hanya diam berdiri sambil memandang
tajam ke semua orang disana. Sheila sangat misterius, salah satu temannya yang sedikit sudah menjadi anak yang terdidik
ketakutan melihat tingkah laku Sheila. Mereka menjauhi Sheila. Seusai senam,
Torey dan murid-muridnya memasuki ruang kelas untuk memulai proses
pembelajaran. Semua murid Torey kecuali Sheila duduk di tempat nya
masing-masing, sedangkan Sheila hanya berdiri. Dia tidak bergerak sedikit pun.
Dan Torey pun mengajak Sheila berbicara “ Sheila, kenapa tidak duduk di bangku
mu?”. Namun, Sheila tidak merespond sedikit pun, Sheila hanya diam
menghanyutkan bagaikan air tenang yang mengalir. Torey berusaha untuk membuat
Sheila berbicara. Dia mengulang bertanya kepada Sheila, “Gadis kecil yang
manis, silahkan duduk di bangku mu kita akan segera memulai pelajaran pada hari
ini” ujar Torey dengan lemah lembut dan penuh keikhlasan. Sheila juga tidak menjawab
dan diam di tempat. Torey dengan sabar menghadapi sikap Sheila dan kembali ke
tempat semula dia duduk.
Pelajaran
pada pagi hari itu ialah menggambar dan menghitung. Seusai torey menerangkan
pembelajaran di depan kelas, Torey pun menyuruh anak-anak untuk menggambar
bebas. Semua murid sudah berangsur memulai pekerjaannya, namun ada juga yang
malah mengacau dan mengganggu teman sebangku nya. Sedangkan Sheila hanya
berdiri seperti patung dengan mata tajam nya. Torey membiarkannya berbuat apa
yang diinginkan nya agar Sheila tidak mengeluarkan perilaku jelek nya. Torey sedang mendidik murid yang lainnya.
Suatu ketika Sheila menatap Torey dengan tajam dan berjalan mengelilingi setiap
sudut kelas itu dengan menghentak-hentak. Semua murid memperhatikannya begitu
juga dengan Torey. Tiba-tiba Sheila berjalan kencang menuju sebuah aquarium di
sudut kelas. Torey mulai khawatir dengan kelakuan Sheila. Sheila mengambil
semua ikan yang ada di dalam aquarium, lalu menggenggam nya dengan kuat. Torey
mulai menghampiri Sheila, tetapi Sheila malah mencongkel hidup-hidup mata ikan
tersebut. Teman-temannya pun berteriak histeris melihat kelakuan Sheila yang
begitu mengerikan.
Torey
memandanginya dengan baik. Ketakutan mulai hilang dari mata Sheila dan
digantikan dengan kelelahan. Bagian depan celana menggelap dan air kencing
mengenang di seputar kakinya. Dia menunduk untuk melihatnya, melepaskan
pandangannya dari Torey dan menggigit bibir bawahnya. “Kecelakaan sering
terjadi, itu hal biasa karena kamu tak sempat ke kamar mandi” usul Torey. Dia
menunduk lagi, kemudian kembali memandang Torey. Torey pun hanya diam. “Kamu
akan mencambuk aku?’’ Sheila bertanya dengan suara parau. Torey merasa jengkel
dan berkata “Tidak Sheila, aku tidak mau mencambuk anak-anak. Aku sudah
katakana itu sebelumnya kepada mu”. Sheila menatap celana terusannya, “Papaku,
dia pasti cambuk aku keras-keras kalau dia liat aku gini”. Torey menatap dengan
rasa iba kepada Sheila. Sepanjang percakapan tadi, Torey tetap tidak bergerak
di tempatnya, takut merusak hubungan yang masih rentan ini. “Akan kita bereskan
itu nanti, jangan khawatir. Kita masih punya waktu sebentar sebelum sekolah
usai. Nanti pasti kering” kata Torey. Sheila mengusap hidungnya dan memandang
genangan air lalu memandang Torey.
Suasana
sudah tenang di ruangan. Anton dan anak-anak sedang bernyanyi. Ikan-ikan yang
mati tadi sudah dibereskan. Sheila pergi ke kursinya, melipat tubuhnya dan
mengisap ibu jarinya. Namun, dia terus mengawasi Torey. Torey berkeliling mendatangi setiap anak dan
memeluk mereka serta berbicara dengan murid-muridnya untuk menenangkan perasaan
mereka yang tak terucap. Bel sore berbunyi, “Besok akan lebih baik kukira, hari
pertama memang sering sulit” ujar Torey kepada Sheila. Torey berusaha membaca
matanya dan menangkap apa yang ada di dalam pikiran Sheila. Kebencian di
matanya yang selama ini terlihat telah lenyap, setidaknya untuk sementara.
Untuk
menangani bocah-bocah ini dari hari ke hari Torey harus mengunci emosinya
sendiri dengan berbagai cara. Setiap hari Torey terus menghalau rasa
ketakutannya untuk mendidik bocah-bocah yang luar biasa itu. Namun, pada
dasarnya Torey seorang pemimpi. Di atas segala perilaku anak-anak tidak bisa di
mengerti, di atas kekecewaan dan keraguan diri, Torey membangun impian yaitu
bahwa segala sesuatu dapat berubah jika bersungguh-sungguh. Dan impian itu
tidak mudah mati.
Esoknya
tiba, tugas hari itu ialah menulis.
Anak-anak mengerjakan tugasnya, tetapi Sheila tidak. Begitu selembar kertas
diberikan kepadanya, dia merobeknya. Bagaimanapun, hasil pekerjaannya tidak
pernah sampai ke keranjang koreksi. Dia tetap tidak mau mengerjakan tugas
tulis-menulis setelah dua puluh menit duduk, Torey pun menyerah. Torey berfikir
mungkin ada sesuatu yang lain di balik penolakannya mengerjakan tugas
tulis-menulis. Akhirnya, Torey kembali mengambil selembar kertas soal dari satu
rim yang tersedia. Torey menyuruh Sheila mengerjakan tugas matematika. “ Kita
akan mengerjakan matematika di hari ini, Sheila. Yang kuinginkan hanyalah satu lembar kertas ini
dan di situ cuma ada soal-soal mudah”. Dia memandang Torey, dan berkata “ Aku
enggak mau ngerjain itu”. “Yah, hari ini kamu tidak boleh memilih. Ayo kita
mulai”. Dia duduk menatap kembali Torey, lalu meremas kertas pertama itu. Torey
memberikan lagi selembar kertas, lagi-lagi Sheila tidak mengerjakannya malah
mencungkil kertas itu dengn pensil. Torey terus memaksanya untuk mengerjakan
tugasnya, suatu ketika Sheila menjerit dan berlari keluar ruangan untuk
melepaskan dirinya dari Torey. “ AKU MEMBENCI KAMU! Dia menjerit
sekeras-kerasnya. Tampaknya dia sudah hampir menangis, garis mulutnya menurun
dan dagunya gemetar. Kekecewaan Sheila terpancar di matanya karena Torey
berlaku begitu keras terhadapnya. Saat Torey menatapnya, Torey mengaku dia
telah melakukan kesalahan dengan memaksa Sheila untuk mentaati perintahnya.
Sheila
punya dendam yang begitu besar dan seperti tak kenal batas. Mungkin saja itu
karena perlakuan yang di terimanya di masa lalu dari keluarganya. Selama di
sekolah Sheila selalu membawa masalah. Terkadang jika ada orang yang berkata
keras kepadanya dia akan menimbulkan kekacauan. Suatu ketika Sheila pernah
dendam kepada seorang temannya yang bernama Sarah. Sarah suka sekali dengan
seni, dia menghasilkan banyak karya seni. Namun, Sheila dengan mudahnya
menghancurkan karya seni Sarah. Sarah
merasa terpukul dan dia mengadukan perbuatan Sheila kepada kepala sekolah.
Dengan marahnya kepala sekolah langsung memanggil Torey dan Sheila untuk
menemuinya. Kepala sekolah itu tidak mengerti dengan Sheila, tidak seperti
Torey yang selama ini menahan dirinya untuk tidak memarahi Sheila karena dia
mengerti tekanan seperti apa yang telah di terima Sheila di masa lalunya. Ny. Colly itu membentak Torey karena tidak
becus mendidik Sheila sebagai muridnya. Lalu Sheila kelihatannya sanagat marah
dengan perkataan Ny. Colly. Kemarahannya membuat dia dengan sekejap menghancurkan
runagan Ny. Colly. Meja yang ada di dalam ruangan itu terjungkal, barang-barang
berserakan dimana-mana, dan tirai jendela ditariknya ke bawah hingga runtuh.
Torey membentaknya, “Sheila!”. Sheila berputar-putar, matanya gelap dan
menyeramkan. Sebuah tongkat terpegang di salah satu tangannya. Ny. Colly sanagt
marah dengan perlakuan Sheila terhadap ruangannya. Dia langsung memberi hukuman
pukulan kepada Sheila. Sheila di suruhnya membungkuk, namun awalnya Sheila
menolaknya. Akhirnya Sheila menurutinya dan Ny. Colly memukul Sheila 2 kali.
Torey tak kuasa melihatnya. Namun, apalah daya Ny. Colly melarang nya untuk
ikut campur dan dia menegaskan kepada Torey akan menberhentikannya.
Setelah
kejadian itu Torey mengajak Sheila ke sebuah ruangan buku. Dia mengajak Sheila
berbicara.
“Mengapa
sich kamu lakukan semua itu?”
“Kamu
enggak bisa nyuruh aku bicara” ujar Sheila.
Torey
merasa bersalah karena telah menyerah dan membiarkan Ny. Colly membawanya.
Namun Torey berkata padanya, “Dengar, ternyata semua jadi kacau. Maafkan aku”.
Sheila tetap diam. Demi tuhan Sheila, apa sih yang kamu mau dariku?”
Matanya
membesar. “Apakamu marah sama aku?”
“Bisa
dibilang begitu. Aku sedang marah pada semua orang sekarang”
“Kamu
akan cambuk aku?”
“Tidak,
tidak akan. Seperti telah aku bilang padamu berjuta-juta kali, aku tidak mau
mencambuk anak-anak.”
“Kenapa
enggak?, Papaku, dia bilang itu satu-satunya cara membuat aku jadi baik. Dia
cambuk aku dan aku harus jadi lebih baik, soalnya dia enggak mau tinggalkan aku
di jalan seperti Mamaku”.
Hati
Torey luluh setelah mendengar perkataan Sheila. Dia mencoba menenangkan gejolak
emosional yang dirasakan Sheila selama ini. Torey memeluk Sheila, dan mencoba
membuat Sheila menjadi anak yang terkendali.
Dengan
berjalannya waktu yang lama yang dilalui Torey bersama Sheila membuat mereka
semakin dekat dan saling menyayangi, seperti seorang Ibu dan anaknya. Mereka
menjalani hari demi hari dengan banyak kejadian dan pelajaran. Dan semua itu
membantu Sheila. Sheila sudah bisa menjadi anak yang baik. Usaha Torey selama
ini sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Sheila sudah bisa mengontrol
emosinya walau belum spenuhnya sempurna. Dia menjalani hari-harinya layaknya
anak biasa yang normal emosionalnya. Kadang dia bernyanyi. Selama ini Sheila
tidak pernah mau menangis karena menurut dia itu tidak ada gunanya, namun
sekarang jika di kala sedih atau ketakutan Sheila sudah mau menangis karena dia
sudah tau kalau menangis itu dapat membantu seseorang untuk meredam rasa
amarah, sedih, takut, maupun kecewa.
Berkat
perjuangan Torey selama ini telah menjadikan Sheila seperti anak biasa. dan
sungguh luar biasanya kasih sayang dan kesabaran seorang guru seperti Torey.
Impian Torey terwujud, dia mampu membaa anak didiknya ke jalan yang lebih baik
termasuk Sheila. Walaupun Torey harus berpisah dengan Sheila, karena Sheila
harus melanjutkan sekolah ke kelas berikutnya. Namun, Torey merasa bahagia
melihat bocah didikannya yang mungil menjadi anak yang baik.
Karya:
Irmayani Ocstadina, terinspirasi dari pengalaman membaca sebuah novel.